PENDIDIKAN - Bicaramu selalu manis, seperti lidah seorang penyair yang melantunkan puisi penuh harapan. "Indonesia Emas 2045!" serumu penuh semangat di podium, dikelilingi oleh kamera dan sorotan lampu. Retorikamu menggelegar seperti guntur di langit yang menjanjikan hujan kesejahteraan bagi bangsa. Janji demi janji kau tumpahkan ke atas rakyatmu, menyulut optimisme yang menggelora.
Namun, mari kita simak langkah-langkahmu dengan seksama. Di balik janji "emas, " mengapa dana pendidikan justru kau kurangi? Tidakkah engkau tahu bahwa emas tidak ditemukan di permukaan? Ia tersembunyi, dan untuk menemukannya, kita butuh alat, kita butuh ilmu. Pendidikan adalah jalan setapak menuju emas itu. Ketika dana pendidikan kau kurangi, sama saja kau memutuskan langkah mereka yang ingin mencarinya. Kau biarkan generasi muda mengais-ngais pengetahuan di antara reruntuhan kesempatan.
Ah, dan ini yang lebih menyayat. Saat dana pendidikan berkurang, uang kuliah justru melonjak seperti roket yang tak peduli gravitasi bumi. Mahasiswa? Ah, mereka harus berjuang lebih keras lagi, memikul beban yang kian berat demi impian yang terasa semakin jauh. Bagimu mungkin ini hanya sekadar angka dalam laporan keuangan, tapi bagi mereka, ini adalah pengorbanan—mimpi-mimpi yang ditukar dengan kerja siang malam, atau bahkan, mimpi yang ditangguhkan.
Indonesia Emas, katamu? Tapi bagaimana bisa kita menuju ke sana jika kau menggembok pintu gerbang emas itu? Bagaimana jika pikiran-pikiran cemerlang yang seharusnya menjadi penentu arah bangsa justru terkurung oleh mahalnya tiket pendidikan? Tidak adil rasanya jika emas yang kau janjikan hanya menjadi hiasan di istana mereka yang mampu, sementara anak-anak yang benar-benar berhak hanya bisa bermimpi dari kejauhan.
Maka, katakanlah, wahai pemimpin dengan suara yang memukau: Apakah arti dari Indonesia Emas jika generasi emas itu tidak kau beri kesempatan untuk bersinar? Sungguh, lidahmu fasih menenun janji, tapi jangan lupa bahwa sejarah juga pandai mencatat ingkar. Emas tidak tumbuh dari retorika, tapi dari langkah nyata yang mendukung mimpi-mimpi bangsa.
Apakah kau berani menjadikan retorikamu sebagai kenyataan, atau ini hanya dongeng manis yang segera terlupakan? Ah, tanyalah pada dirimu sendiri sebelum rakyatmu bertanya padamu di hari yang lebih kelam.
Baca juga:
Najwa Shihab: Profesi Jurnalis
|
Jakarta, 20 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi